Series A: Understanding Papua, Is it A Historical Mistake?: A Commentary on the Ever-worsening Conflict in the Easternmost Part of Indonesia
For your information, this content is presented in two languages, namely English and Bahasa Indonesia. The Bahasa Indonesia content is displayed after the English version.
Sekadar informasi, konten ini disajikan dalam dua bahasa yaitu Inggris dan Bahasa Indonesia. Konten Bahasa Indonesia ditampilkan setelah konten Bahasa Inggris.
Written by: Adriana Meriam Elsabel
Edited by: Muhammad Nabil Ar-Rafi
—
As Indonesia is near its 2024 election, talk about ongoing events related to the presidential candidates in regions of Indonesia has been circulating among the media and the voters. One long-drawn topic that has challenged presidential candidates in debates is human rights violation in Papua, which started long before the reform era. Past governments and future stakeholders, both at the national and provincial level — the Papuan government itself — have executed and proposed many resolutions to the conflict. From the ‘Divide-and-Rule’ tactic to Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK) [1], no policy seems to have successfully resolved this prolonged issue of secessionism in the easternmost part of Indonesia. Therefore, the writer believes that, as a product of historical mistakes, the Papua conflict can not be solved instantly with a single-dimension approach.
Before jumping into political intricacy, it is essential to fully understand the historical trails of this ever-worsening conflict, especially after the tension in the region escalated after the failure of the Indonesian military rescue attempt of Philip Max Mehrtens of New Zealand, who’s being held hostage by the Papuan armed criminal group (kelompok kriminal bersenjata) led by Egianus Kogoya [2]. That is, actually, the objective of this article. We hope to address more clearly how this conflict started in the first place and how it has developed to the present day.
Talking about the Papua issue can not be reduced to merely pointing out who to blame for this within the time frame of the reformation era when everything has escalated to the battle between the KKB and the military. Long before the bloody conflict in the Cendrawasih land, it was a question of Indonesia’s territory that was debated by our founding fathers. Many of our national figures came into agreement that Papua has long been a part of Indonesia, stemming from geopolitical, historical, political, and even pragmatic reasons — that Papua’s natural wealth could bring profits to Indonesia [3]. Those who agreed on integrating Papua into Indonesia were Kahar Muzakkar, Mohammad Yamin, and Indonesia’s first President, Soekarno [4]. They believe that historically, Papua had been under occupation of the Dutch East Indies, therefore is the valid reason for integrating Papua into the emerging nation. Yamin even believed that the island was a part of the Tidore Kingdom and, hence, geopolitically related to Nusantara [5] — an archipelagic concept of Indonesia during the classical period.
On the other hand, Mohammad Hatta, who was later to be Soekarno’s vice president, opposed the notion. He believed that Papuans are ethnically different from most Indonesians. He viewed the Malayans and North Borneo people as being related more closely to Indonesians than the Papuans [6]. This point that Hatta brought, interestingly, was openly accepted by Muzakkar as he pragmatically supported the integration of Papua for its natural resources could bring profits, “biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka. [7]” The writer finds it ironic that there is a hint of social differentiation, if not racism, with the reason being somewhat exploitative, rather than scientific reason, as Hatta brought to the table. Moreover, that logic will be even more cunning if we know that the Papuans have never actually been included during the National Movement Period (Masa Pergerakan Nasional) — there was not a single Papuan on the second Youth Congress (Kongres Pemuda II) on the 28th October 1928, nor during Indonesia’s proclamation of independence [8].
On another note, the writer fully understands that there is limited accessibility for Papuans to join the rigorous movement for Indonesia’s independence, such as its location, funding matters, or even because of close scrutiny by the Dutch colonists that impeded Papuans’ mobility. However, the writer also questions whether those factors are actually valid, because there were representatives of students from Ambon, a region close enough to Papua yet still far from Java island, in the second Youth Congress [9]. Nonetheless, there is a lack of information on why Papuans seemed to be unincluded in Indonesia’s struggle for independence, which, in the writer’s view, validates the irony that Muzakkar acknowledged the ethnic difference of Papuans — that is probably the reason many of Indonesian scholars back then did not perceive Papuans as Indonesians — yet ‘welcoming’ them for the sake of profitability of the nation. In the end, most Indonesian scholars on the BPUPKI meeting voted for integration of Papua into Indonesia [10].
So, the writer proposes questions better in alignment to ask: did Indonesian founding fathers acknowledge and engage the Papuans as part of Indonesia in the first place or during the struggle for independence? Would the decision of Indonesia’s territory be different if they had never known the resourcefulness of Papua’s nature? Now, the decision is yours to make: whether or not Papua should have been a part of Indonesia in the first place.
We will dig more into the complications this historical conflict brought to the present day.
SERI A: Memahami Papua, Apakah Itu Kesalahan Sejarah?: Sebuah Komentar terhadap Konflik yang Terus Memburuk di Bagian Paling Timur Indonesia
Ditulis oleh: Adriana Meriam Elsabel
Disunting oleh: Muhammad Nabil Ar-Rafi
—
Mendekati Pemilu Indonesia 2024, pembicaraan tentang peristiwa yang sedang berlangsung di wilayah Indonesia yang ditujukan kepada calon presiden telah beredar di kalangan media dan pemilih. Salah satu topik panjang yang dibicarakan kandidat presiden dalam debat adalah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) di Papua, yang dimulai jauh sebelum era reformasi. Pemerintah masa lalu dan stakeholders (pemangku kepentingan) masa depan, baik di tingkat nasional maupun provinsi, yakni pemerintah Papua itu sendiri, telah melaksanakan dan mengusulkan banyak resolusi untuk konflik tersebut. Dari taktik ‘Divide-and-Rule’ hingga RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) [1], tampaknya tidak ada kebijakan yang berhasil menyelesaikan masalah separatisme yang berkepanjangan ini di bagian paling Timur Indonesia. Oleh karena itu, penulis percaya bahwa konflik Papua tidak dapat diselesaikan secara instan dengan pendekatan satu dimensi.
Sebelum terjun ke dalam konflik politiknya, penting untuk kita pahami sepenuhnya jejak sejarah konflik yang terus memburuk ini, terutama setelah ketegangan di wilayah tersebut meningkat setelah kegagalan upaya penyelamatan oleh militer Indonesia terhadap Philip Max Mehrtens dari Selandia Baru, yang disandera oleh KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) Papua yang dipimpin oleh Egianus Kogoya [2]. Itulah sebenarnya tujuan dari artikel ini. Penulis berharap dapat membahas lebih jelas bagaimana konflik ini dimulai sejak awal dan bagaimana konflik ini berkembang hingga saat ini.
Berbicara tentang masalah Papua tidak hanya tentang siapa yang harus disalahkan atas konflik dalam kerangka waktu era reformasi, terlebih ketika semuanya telah meningkat menjadi pertempuran antara KKB dan militer. Jauh sebelum menjadi konflik berdarah di tanah Cendrawasih, permasalahannya sebatas pertanyaan tentang wilayah Indonesia yang diperdebatkan oleh para pendiri bangsa. Banyak tokoh nasional kita setuju bahwa Papua telah lama menjadi bagian dari Indonesia, baik dari alasan geopolitik, sejarah, politik, dan bahkan pragmatis; bahwa kekayaan alam Papua dapat membawa keuntungan bagi Indonesia [3]. Mereka yang menyetujui perihal integrasi Papua ke Indonesia ini adalah Kahar Muzakkar, Mohammad Yamin, dan Presiden pertama Indonesia, Soekarno [4]. Mereka percaya bahwa secara historis, Papua telah berada di bawah pendudukan Hindia Belanda. Oleh karena itu, alasan ini menjadi alasan yang sah untuk mengintegrasikan Papua ke dalam negara yang sedang berkembang. Yamin bahkan percaya bahwa Papua adalah bagian dari Kerajaan Tidore dan secara geopolitik terkait dengan Nusantara [5], sebuah konsep kepulauan Indonesia selama periode klasik.
Di sisi lain, Mohammad Hatta yang nantinya menjadi wakil presiden Soekarno menentang gagasan tersebut. Beliau percaya bahwa orang Papua secara etnis berbeda dari mayoritas orang Indonesia. Beliau memandang orang Malaya dan Borneo Utara lebih dekat dengan orang Indonesia daripada orang Papua dengan orang Indonesia [6]. Poin yang dibawa Hatta ini, menariknya, diterima secara terbuka oleh Muzakkar seiring ia secara pragmatis mendukung integrasi Papua mendapat keuntungan sumber daya alam, “Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka [7].” Penulis melihat hal tersebut ironis; bahwa ada sedikit diferensiasi sosial, jika bukan rasisme, dengan alasan cukup eksploitatif daripada penjelasan ilmiah seperti yang dibawakan Hatta. Bahkan, logika itu terlihat licik jika kita tahu bahwa orang Papua tidak pernah dilibatkan selama Masa Pergerakan Nasional. Selain itu, tidak ada orang Papua satupun di Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, maupun selama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia [8].
Dalam pertimbangan lain, penulis sepenuhnya memahami bahwa ada keterbatasan akses bagi orang Papua untuk bergabung dengan gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti permasalahan lokasi, pendanaan, atau karena pengawasan oleh penjajah Belanda yang menghambat mobilitas orang Papua. Namun, penulis juga mempertanyakan apakah faktor-faktor tersebut dianggap valid dikarenakan adanya perwakilan mahasiswa dari Ambon, wilayah yang cukup dekat dengan Papua tetapi jauh dari Pulau Jawa, dalam Kongres Pemuda II [9]. Meskipun demikian, informasi mengenai alasan orang Papua yang tampaknya tidak dilibatkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dalam pandangan penulis membenarkan ironi bahwa Muzakkar memandang perbedaan etnis orang Papua. Mungkin itulah yang menjadi alasan banyak tokoh terpelajar saat itu tidak menganggap orang Papua sebagai orang Indonesia, tetapi ‘menyambut’ mereka demi keuntungan bangsa. Pada akhirnya, sebagian besar tokoh terpelajar pada pertemuan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) memilih untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia [10].
Pada akhirnya, penulis ingin mengajukan pertanyaan: Apakah para pendiri Indonesia mengakui dan melibatkan orang Papua sebagai bagian dari Indonesia atau selama perjuangan kemerdekaan? Apakah keputusan wilayah Indonesia akan berbeda jika mereka tidak pernah mengetahui kekayaan yang dimiliki Papua? Sekarang, keputusan ada di tangan kalian. Apakah Papua seharusnya menjadi bagian dari Indonesia sejak awal atau tidak?
Kami akan menggali lebih dalam komplikasi yang dibawa oleh konflik sejarah ini hingga masa kini.
[1] Jacques Bertrand, “Autonomy and Stability: The Perils of Implementation and ‘Divide-and-Rule’ Tactics in Papua, Indonesia,” Nationalism & Ethnic Politics 20, no. 2, (2014): 174–199, https://doi.org/10.1080/13537113.2014.909157
[2] Singgih Wiryono and Diamanty Meiliana, “Pengamat: Puluhan Tahun Operasi Militer di Papua Tak Berhasil Selesaikan Masalah,” nasional.kompas.com., KOMPAS, April 20, 2023, https://nasional.kompas.com/read/2023/04/20/21391811/pengamat-puluhan-tahun-operasi-militer-di-papua-tak-berhasil-selesaikan
[3] Martin Sitompul, “Debat Pendiri Bangsa Soal Papua,” Historia.id, PT. Media Digital Historia, May 9, 2019, https://historia.id/politik/articles/debat-pendiri-bangsa-soal-papua-v5EAo/page/1
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Boy Anugerah, “Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi,” Jurnal Lemhanas RI 7, no. 4, (2020): 51–65, https://doi.org/10.55960/jlri.v7i4.111
[9] Yonada Nancy, “Daftar Organisasi Kepemudaan yang Ikut dalam Kongres Pemuda 2,” Tirto.ID, PT. Tujuh Cahaya Sentosa, October 26, 2023, https://tirto.id/daftar-organisasi-kepemudaan-yang-ikut-dalam-kongres-pemuda-2-gQ9b
[10] Martin Sitompul
Reference
Anugerah, Boy. 2020. “Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi.” Jurnal Lemhanas RI 7, no. 4 (August): 51–65. https://doi.org/10.55960/jlri.v7i4.111.
Bertrand, Jacques. 2014. “Autonomy and Stability: The Perils of Implementation and ‘Divide-and-Rule’ Tactics in Papua, Indonesia.” Nationalism & Ethnic Politics 20, no. 2 (May): 174–199. https://doi.org/10.1080/13537113.2014.909157.
Nancy, Yonada. 2023. “Daftar Organisasi Kepemudaan yang Ikut dalam Kongres Pemuda 2.” Tirto.ID. https://tirto.id/daftar-organisasi-kepemudaan-yang-ikut-dalam-kongres-pemuda-2-gQ9b.
Sitompul, Martin. 2019. “Debat Pendiri Bangsa Soal Papua.” Historia. https://historia.id/politik/articles/debat-pendiri-bangsa-soal-papua-v5EAo/page/1.
Wiryono, Singgih, and Diamanty Meiliana. 2023. “Pengamat: Puluhan Tahun Operasi Militer di Papua Tak Berhasil Selesaikan Masalah.” KOMPAS.com. https://nasional.kompas.com/read/2023/04/20/21391811/pengamat-puluhan-tahun-operasi-militer-di-papua-tak-berhasil-selesaikan.